Retrorika Asbun Rocky Gerung

Terbaru, Rocky
Gerung mengkritisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
yang digadang-gadang akan di revisi, jika disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyar (DPR). Tentunya, sebagai seorang yang notabene sebagai kritikus, akan
selalu kontra terhadap apa yang menjadi kebijakan pemerintah. Walaupun
demikian, sebagai seorang yang setiap bergelut dengan dunia hukum, sangat tepat
apabila UU ITE direvisi oleh pemerintah, terlebih beberapa pasal didalamnya
sangat memungkinkan semua orang menjadi korban, termasuk non-politik.
Tetapi,
sangat disayangkan apabila mengkritisi dengan menyebutkan kata-kata ‘idiot dan
dungu’ yang ditunjukan langsung kepada seorang kepala pemerintahan. Sebagai
seorang terdidik dan seorang berlabelkan filsuf, pemilihan kata-kata dungu dan
idiot sangat tidak beradab apalagi Rocky Gerung merupakan seorang dosen di
Universitas Indonesia (UI). Bagi Rocky Gerung, pemerintah merupakan biang
masalah hanya segelintir orang yang ia setujui pendapatnya yang terpenting
orang-orang tersebut merupakan lawan politik (oposisi) dari pemerintahan.
Bagi saya, Rocky
Gerung adalah politisi dan sangat khas dengan budaya politisi, bukan pengamat,
bukan pula kritikus politik. Walaupun saya tetap mengamini, Rocky Gerung
seorang Filsuf dikeranakan ia memang menempuh jalur filsafat saat masih menjadi
akademisi. Akan tetapi, Rocky Gerung tidak segan-segan dan cenderung
menggunakan kata "dungu" hampir untuk semua orang, terutama kepada orang-orang
yang dia pandang sebagai lawan. Terlebih Pernyataan atau tindakan seorang tokoh
nasional atau seorang pejabat saja pernah dibilang 'dungu' oleh Rocky Gerung.
Mengutip
cuitan Husain Shihab, Rocky Gerung sudah kelewatan batas dan harus diberikan
pelajaran “Kelewatan, pertama dia rakyatnya, kedua dia orang yang
berpendidikan, di mana moralnya sebagai pendidik? Kalau seandainya pendukung
Jokowi masuk dalam kategori Antar Golongan dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE saya
siap laporkan!,” cuit Husin Shihab. Tentunya, cuitan ini menjadi tamparan keras
bagi politisi yang terkesan diam dan membisu, apalagi seorang kepala negara
boleh dilecehkan semena-semananya.
Jika menggunakan
Hak Asasi Manusia (HAM) seperti yang digembar-gemborkan oleh Rocky Gerung. Saya
lebih memilih untuk menggunakan pasal berikut: U ITE diatur di Pasal 27 ayat (3) UU
ITE. Sedangkan sanksi yang melakukan perbuatan itu diatur di Pasal 45 ayat (3)
UU19/2016, yakni: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 750 juta.
Berikutnya dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyebutkan:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil s esuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Penjelasan
Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 disebutkan bahwa ketentuan pada ayat ini mengacu
pada ketentuan pencemaran nama baik atau fitnah yang diatur dalam KUHP. Setidaknya
ada 6 macam penghinaan atau pencemaran nama baik di KUHP, sebagai berikut: (a).
Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP) (b).Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat
(2) KUHP) (c). Fitnah (Pasal 311 KUHP) (d). Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP) (e).
Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP) (f). Perbuatan fitnah
(Pasal 318 KUHP).
Dalam buku
Kebebasan Berekspresi di Indonesia - Hukum, Dinamika, Masalah, dan Tantangannya
(hal. 123), bahwa pernyataan yang dikeluarkan orang untuk menghina sangat
tergantung kepada pemilihan kata dan cara penyampaian, serta perasaan subjektif
orang yang dihina terkait dengan rasa harga diri. Bentuk objekif dari mengina
adalah bila pernyataan itu menyerang nama baik orang lain, karena akan diukur
sejauhmana nama baik seseorang menurun karena penghinaan tersebut. Namun bila
terkait dengan “kehormatan” orang lain, maka delik penghinaan menjadi
subjektif, terkait dengan rasa yang bersifat subjektif. Oleh karenanya tidak
mengherankan, bahwa untuk pembuktian delik penghinaan, dibutuhkan unsur “tujuan
untuk menghina” (oogmerk om te beledigen atau animus iniuriandi).
Singkatnya, Rocky Gerung mengkritisi pemerintah bukanlah tanpa sebab, selain sebagai batu pijakan ia merupakan politisi bukan sekedar pengamat politik. Mengkritisi pemerintah ala Rocky Gerung merupakan kemunduran budaya kita, dimana menghormati seseorang lebih utama dari ilmu dan gelar yang dimiliki. Walaupun sebagai filsuf, Rocky Gerung sangat tampak memiliki ambisi tersendiri dengan menggunakan retrorika yang ngawur.